Minggu, 18 Januari 2015

DISPEPSIA

DIETETIKA
DISPEPSIA

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek  sehari-hari. Diperkirakan hampir 30 % kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologis merupakan kasus dispepsia ini. Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhi tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitas dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, jarang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag/lambung. Penyakit hepato-pankreato-bilier (hepatitis pankreatitis kronik, kolesistitis kronik dll) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis pada esogafo-gastro duodenal (tukak peptik, gastritis, dll). Beberapa penyakit di luar sisten gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindron dispepsia, seperti gangguan kardiak (iskemia inferior /infark miokard) penyakit tiroid, obat-obatan, dan sebagainya.

 Penyebab Dispesia
Esofago-gastro-duodenal
Tukak peptic, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan
Obat-obatan
Antiinflamasi non-steroid, teofilin, digitalis, antibiotic
Hepato-bilier
Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan, disfungsi sfingter Odii
Pankreas
Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik lain
Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner/iskemik
Gangguan fungsional
Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleb seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15 - 30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data di negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis. Angka insidens dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.
Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll) dan kelompok di mana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan fungsional.

DEFINISI
Dalam referensi, cukup banyak definisi untuk dispepsia, misalnya istilah ini dikaitkan dengan keluhan yang berhubungan dengan makan atau keluhan yang oleh pasien ataupun doktemya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas. Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman menjadi sesuatu yang relatif, terlebih lagi bila diekspresikan dalam bahasa yang berbeda. Jadi diperlukan sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama. Dalam definisi, lamanya keluhan tidak ditetapkan. Hanya tentunya untuk keperluan suatu penelitian hal ini perlu ditetapkan.
Seperti dikemukakan di atas bahwa kasus dispepsia setelah eksplorasi penunjang diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat fungsional. Dalam konsensus Roma II yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional dideflnisikan sebagai dispepsia yang berlangsung:
At least 12 weeks, which need not be consecutive, in the preceding 12 month of:
  1. Persistent or recurrent dyspepsia (pain or discomfort centered in the upper abdomen)
  2.  No evidence of organic disease (including at upper endoscopy) that is likely to explain the symptoms,
  3. No evidence that dyspepsia is exclusively relieved by defecation yr associated with the onset of a change in stool frequency or stool form (i.e. not irritable bowel).
Jadi ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan Berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka nerupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pcmeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya.
Sebagai usaha untuk membuat praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
  1. Dispepsia tipe seperti ulkus, yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik
  2.  Dispepsa tipe seperti dismotilitas, yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, nuntah, rasa penuh, cepat kenyang
  3. Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang dominan.
Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur penanganan dispepsia, tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya heartburn atau regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/ algoritme penyakit gastroesofageal refluks. Hal ini disebabkan tingginya sensitivitas dan spesivitas keluhan itu untuk adanya proses refluks gastroesofageal.

SlNDROM TUMPANG TINDIH (OVERLAP SYNDROMES )
Hal ini mencuat menjadi penting dalam klinis praktis, karena adanya keluhan yang tumpang tindih antara kasus dispepsia, kasus refluks gastroesofageal (keduanya berasal dari saluran cerna bagian atas), dan kasus irritable bowel syndrome. Ketiga penyakit ini mempunyai kecenderungan gejala yang tumpang tindih sehingga perlu dicermati terutama dalam anamnesis, karena akan berdampak pada pengobatan yang berbeda.



PATOFISIOLOGI
Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.

Sekresi asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

Helicobacter Pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.

Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gas­trointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.

Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik mendapatkan basil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.

Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

Aktivtas Mioelektrik Lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.

Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.


Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok kontrol, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.

GAMBARAN KLINIS
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap pasien, maka disarankan untuk mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
1.      Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe sepetti ulkus (ulcer like dyspepsia).
2.      Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
3.      Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-spesifik.

Berdasarkan kriteria Roma II, dispepsia tipe seperti refluks (reflux like dyspepsia) tidak dipakai lagi. Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah mendapatkan gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan altematif pengobatan awalnya.

PENUNJANG DIAGNOSTIK
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas.dsb), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai pemeriksan dapat dilakukan, walaupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih kontroversial. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung, manometri untuk menilai adanya gangguan fase III migrating motor complex, elektrogastrografi, skintigrafi atau penggunaan pellet radioopak untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori dan sebagainya.

TERAPI
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respons plasebo yang tinggi mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti.

Penjelasan dan reassurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Diag­nosis klinis dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancam dilakukan. Perlu dijelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Latar belakang faktor psikologis perlu dievaluasi. Pasien dinasehati untuk menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia
fungsional.     

Dietetik
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/mempegaruhi kualitas hidup pasien.

Medikamentosa
Antasida.
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien dispepsia, tapi dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul dibandingkan placebo.
Penyekat H2 Reseptor.
Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Dari data studi acak ganda tersamar, didapatkan hasil yang kontrovesial. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebagian lagi berhasil. Secara meta-analisis diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas plasebo. Masalah pokok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya kasus Gastroesofageal reflux disease (GERD). Umumnya manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri uluhati.

Penghambat Pompa Proton.
Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada dispepsia fungsional, walaupun pada  banyak studi secara tidak sengaja terlibat kasus GERD yang tidak terdeteksi. Respons terbaik terlihat pada kelompok dispepsia fungsional tipe seperti ulkus.

Sitoproteksi.
Tidak banyak studi untuk memperoleh manfaat yang dapat dinilai dari obat ini (misalnya misoprostol, dan sukralfat)

Metoklopramid.
Merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional tapi terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.

Domperidon.
Termasuk antagonis dopamin D2 yang tidak melewati sawar otak sehingga tidak ada efek ekstrapiramidal. Obat ini lebih unggul dibandingkan plasebo dalam menurunkan keluhan.

Cisapride.
Tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek samping aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.

Agonis Motilin.
Obat yang termasuk golongan ini adalah eritromisin, yang dapat meningkatkan pengosongan lambung pada gastroparesis. Tapi aplikasi klinisnya tidak praktis.

Obat Lain-lain.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi pada sukarelawan serta pada beberapa studi dapat menurunkan keluhan dispepsia fungsional, walaupui manfaat klinisnya masih dipertanyakan. Obat golongan agonis 5-HT (sumatriptan dan buspiron) dapat memperbaiki akomodasi lambung dari memperbaiki keluhan setelah makan. Antispasmodik dicyclomin tidal lebih baik dibandingkan plasebo. Anti mual ondansetron juga pernal dicoba pada studi terbatas dan memperlihatkan manfaat sedikit di atas plasebo. Obat antidepresi seperti amitriptilin dosis rendah memperlihatkan perbaikan keluhan pada kasus dispepsia fungsional

Psikoterapi.
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavior therapy memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku.
Modalitas pengobatan lain seperti acupunture, acupressure, acustimulation, gastric electrical stimulation pemah dicoba untuk kasus dispepsia, walaupun belum sistematis untuk dispepsia fungsional.

PROGNOSIS
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.

KESIMPULAN
Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pada keluhan, gejala, sindrom dyspepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan penyebab organik/biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal fungsional (berdasarkan kriteria Roma II). Uispepsia fungsional mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial, dimana tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas viseral. Modalitas pengobatannya pun menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih ke arah hanya untuk menurunkan/menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih dapat diperdebatkan manfaatnya.







1 komentar:

  1. Merkur Safety Razor Merkur Safety Razor Merkur 34c "W" - ChoGiocasino
    Merkur 34c "W" is a stylish and 메리트카지노 comfortable adjustable tool that allows you to adjust 우리카지노 the angle of the blade at a higher angle while 더킹카지노 on the

    BalasHapus